Home / Financial / Manajemen Keuangan / Uang Virtual, Cryptocurrency

Uang Virtual, Cryptocurrency

Sebuah artikel di Bloomberg belum lama ini menyebutkan seorang pengguna mata uang virtual (cryptocurrency) menghasilkan kekayaan 283 juta dolar AS (setara Rp 3,7 triliun) dalam waktu satu bulan dari jumlah semula yang hanya 55 juta dolar AS (Rp 733 miliar)–naik 413 persen.
Pertanyaannya: siapakah orang beruntung tersebut?
Tak banyak yang tahu. Yang diketahui dari identitas orang tersebut hanya sederet kombinasi angka dan huruf rumit (dan tampak tanpa arti) yang merupakan kode identifikasi: 0x00A651D43B6e209F5Ada45A35F92EFC0De3A5184.
Nah lho, ruwet kan? Apa pula maksudnya?
Yang menarik, melalui sebuah postingan di Instagram yang muncul 11 Juni lalu, muncul dugaan bahwa orang “kaya baru” tersebut berasal dari Indonesia.
“Saya mendapatkan banyak pesan pribadi yang menanyakan berapa banyak Ethereum (jenis mata uang virtual) yang saya miliki. Salah satu hal keren tentang Ethereum adalah bahwa semua wallet di seluruh dunia transparan dan terbuka bagi setiap orang untuk dilihat. Dan ini (283 juta dolar AS) adalah tabungan dompet saya,” kata orang yang memperoleh keuntungan 413 persen dengan cryptocurrency jenis Ethereum tersebut dalam postingannya, seperti ditulis Bloomberg.
Oke, tapi apa itu cryptocurrency? Sudahkah anda mengenalnya?
Cryptocurrency tak bisa dilepaskan dari inovasi dan kemajuan teknologi digital yang tak dapat dibendung dan makin luas memengaruhi kehidupan manusia modern.
Laju teknologi itu tak cuma terlihat dari aktivitas berselancar di internet dengan aplikasi Google misalnya. Lebih dari itu, teknologi digital juga menyentuh aspek mendasar–tanpa reduksi untuk menyebut sebagai satu-satunya kebutuhan utama masyarakat modern–dalam keseharian manusia, yakni uang sebagai alat tukar.
 
Kita tahu bahwa uang yang umumnya berlaku di dunia saat ini ialah uang fisik yang sudah kita kenal sejak pertama kali mendapat uang saku dari orangtua.
Tapi rupanya, di dunia modern yang dinamis ini, selain uang fisik tersebut–entah dolar, rupiah, dinar, riyal, yen, atau yuan–ada pula uang dalam bentuk virtual yang disebut cryptocurrency.
Cryptocurrency. Sulit untuk menemukan makna kata itu. Bahkan Ensiklopedi Britannica belum memuat entri tersebut, apalagi kalau kita mencari padanannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Secara harfiah, cryptocurrency mungkin bisa diurai dari kata cryptography (kriptografi/kode rahasia) dan currency (mata uang).
Disebut demikian karena mata uang virtual itu dibuat dengan melibatkan disiplin ilmu yang berkaitan dengan sistem keamanan kode komunikasi atau kode-kode rahasia.
Itu pula sebabnya mengapa uang virtual itu tidak disebut, misalnya, virtualcurrency.

Ilustrasi Bitcoin

Ilustrasi Bitcoin (Foto: Flickr)

Cryptocurrency pertama kali dirancang oleh David Chaum, seorang doktor ilmu komputer dan administrasi bisnis jebolan University of California, Amerika Serikat. Pada tahun 1980-an, Chaum merancang sebuah algoritma yang sangat aman dan memungkinkan dilakukannya enkripsi (tulisan berkode/sandi) dalam melakukan transaksi dana elektronik.
Dikutip dari Forbes, pada akhir 1990, Chaum yang saat itu tinggal di Belanda mendirikan perusahaan DigiCash dengan maksud sebagai sebuah “gerbang” transaksi uang secara elektronik langsung ke individu.
Sayangnya pemerintah Belanda saat itu memberikan reaksi dengan memberlakukan pembatasan besar pada perusahaan tersebut, yang memaksa DigiCash untuk hanya bertransaksi ke bank-bank berlisensi.
Hal tersebut secara serius membatasi keuntungan perusahaan. Akhirnya setelah satu dekade berjuang dan bermitra dengan Microsoft, DigiCash gulung tikar pada 1990-an.
Cryptocurrency baru kemudian kembali populer sejak sekitar tahun 2010. Kepopuleran cryptocurrency dibawa oleh penemuan yang dikerjakan Satoshi Nakamoto, seseorang atau mungkin sekelompok orang yang sampai saat ini bahkan belum diketahui identitasnya alias masih misterius.
Misterius memang lekat dengat jagat virtual, di mana orang bisa menyembunyikan diri mereka sesungguhnya di balik nama lain, atau bahkan beragam akun alter lain.

Ilustrasi Bitcoin

Ilustrasi Bitcoin (Foto: Flickr)

Ada banyak cara untuk mendapatkan uang: dari upah bekerja, menemukannya di jalan, memalsukannya, dan mencuri atau merampoknya. Atau, jika anda Satoshi Nakamoto–seorang dengan talenta luar biasa dalam kriptografi komputer, anda bisa menciptakan uang.
Dan itulah yang ia lakukan pada malam 3 Januari 2009, ketika dia memencet tombol di keyboard-nya dan membuat sebuah mata uang baru yang disebut Bitcoin, seperti dicatat Joshua Davis dalam The New Yorker.
Menurut Davis, Nakamoto pernah mengatakan, ia menggunakan waktunya lebih dari satu tahun untuk menulis dan meneliti tentang perangkat lunak dalam menciptakan Bitcoin, didorong oleh kemuakannya atas krisis finansial yang melanda Jepang dan sejumlah negara lain yang cukup menghebohkan saat itu.
Dia atau mereka atau sebut saja Nakamoto, ingin membuat sebuah mata uang yang tak mempan atas kebijakan-kebijakan moneter yang tidak dapat diprediksi sebagaimana yang selama ini dikendalikan oleh bankir dan politisi.
Melalui Bitcoin, Nakamoto ingin menciptakan sebuah sistem transaksi yang tak terpusat, atau sistem desentralisasi. Dengan sistem desentralisasi, sirkulasi finansial diyakini dapat lebih mantap dan tidak bergantung pada satu-dua pihak yang memiliki hak “istimewa” dalam menentukan keuangan global.

CEO bitcoin.co.id Oscar Darmawan

CEO bitcoin.co.id Oscar Darmawan. (Foto: Wandha Nur/kumparan)

CEO Bitcoin.co.id, Oscar Darmawan, mengonfirmasi latar belakang Bitcoin tersebut. Ia mengatakan, ada beberapa masalah yang begitu rawan ketika sebuah sistem finansial dikendalikan terpusat, misalnya melalui Federal Reserve–Bank Sentral Amerika Serikat.
“Karena sentralisasi ini selalu bermasalah. Pertama, ada isu hack. Dalam sistem tersentral, kalau di-hack satu, maka down semua. Sementara pada desentralisasi, untuk dapat di-hack total itu perlu di-hack setengahnya. Jadi kalau ada 1.000 server, maka perlu di-hack 500 secara bersamaan. Makanya desentralisasi yang bagus adalah yang semakin banyak servernya,” ujar Oscar kepada kumparan di kantornya di Epiwalk, Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (19/7).
Ia pun menyitir perumpamaan terkenal dari Lord Acton–sejarawan, politisi, sekaligus penulis Inggris–untuk menyerang kelemahan sistem finansial yang sentralistik.
“Itu seperti adagium ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’. Karena sentral itu berarti mengontrol segalanya,” ujar Oscar.
Jika seseorang bertransaksi atau menyimpan kekayaannya di bank berdasarkan kepercayaan terhadap sistem perbankan tersebut, maka hal yang sama berlaku pada Bitcoin dengan “segalanya berdasarkan pada bukti kriptografi, bukan kepercayaan,” tulis Nakamoto dalam esainya tahun 2009 seperti dikutip Davis.
“Akar masalah dengan mata uang konvensional adalah semuanya dapat bekerja berdasarkan rasa percaya. Bank sentral harus dipercaya tidak menurunkan nilai mata uang, tetapi sejarah mata uang legal penuh dengan pelanggaran kepercayaan itu.”
“Bank seharusnya dipercaya untuk mempertahankan uang kita dan mentransfernya secara elektronik. Tetapi mereka meminjamkannya dalam gelombang bubble yang hampir tidak ada pecahan penggantinya,” jelas Nakamoto.
Itu adalah titik yang membedakan Bitcoin dengan DigiCash Chaum yang masih sentralistik. Dan seperti Nakamoto, identitas pengguna Bitcoin sendiri tidak serta-merta terungkap.
Identitas itu, menurut Oscar, bukan anonim (tanpa nama), melainkan pseudonim (nama samaran) atau sebutan yang digunakan seseorang untuk menyembunyikan identitas aslinya.

Ilustrasi Bitcoin

Ilustrasi Bitcoin (Foto: Pixabay)

Perangkat lunak Bitcoin mengenkripsi setiap transaksi, dengan pengirim dan penerima teridentifikasi hanya melalui sebuah rangkaian nomor, namun rekaman dari setiap pergerakan token Bitcoin terpublikasikan melintasi seluruh jaringan.
Pembeli dan penjual tetap tak diketahui, namun setiap orang bisa melihat bahwa sebuah koin bergerak dari A ke B, dan sistem kode Bitcoin bisa mencegah seseorang menggunakan token untuk kedua kalinya.
Sistem penggunaan Bitcoin membolehkan seseorang untuk mengirim uang secara langsung satu sama lain, tanpa sebuah perantara seperti yang berlaku pada sistem perbankan. Jadi, bank sentral dan pemerintah tidak memiliki peran di sini.
Jika Nakamoto mengendalikan dunia, kata Davis berseloroh, dia mampu memecat Ben Bernanke (Kepala Federal Reserve, Bank Sentral AS), menutup Bank Sentral Eropa, dan membuat perusahaan finansial Western Union gulung tikar.
Keamanan kode kriptografi Bitcoin dikenal tak bisa dimanipulasi. Ketika suatu transasksi sudah dilakukan dan tercatat dalam sistem yang disebut blockchain (Bitcoin wallet), maka tidak ada seorang pun yang dapat berbuat sesuatu pada rekaman jejak tersebut.
Dalam pertemuannya dengan pemrogram andal bernama Kaminsky, Davis mengungkapkan kisah yang mungkin terdengar lucu.
“Ketika aku pertama kali melihat kodenya, aku yakin bahwa aku akan mampu memecahkannya,” kata Kaminsky yang kemudian menelan kekalahan atas tangguhnya sistem keamanan Bitcoin.
“Seluruh caranya memformat itu gila. Hanya mereka yang paling paranoid, pengkode yang sungguh-sungguh di dunia, yang mampu menghindar dari membuat kesalahan,” ujarnya kepada Davis.
Setiap kali Kaminsky berusaha mengacaukan sistem keamanan Bitcoin, selalu muncul sebaris kalimat singkat: serangan dibersihkan.

Bitcoin

Bitcoin (Foto: Reuters/Mark Blinch)

Bitcoin mula-mula hanya dihargai kurang dari satu sen. Nilainya baru meningkat ketika permintaan muncul setelah sejumlah perusahaan maupun pedagang mulai menerima transaksi melalui uang virtual itu.
“Pengguna pertama WikiLeaks. WikiLeaks merasa, ‘Sepertinya kami perlu menerima pembayaran yang tidak bergantung pada siapapun’. Donasi terbesar WikiLeaks itu dari Bitcoin,” kata Oscar.
Oscar menceritakan pada 2010, sejumlah orang pemilik Bitcoin di Amerika Serikat mencoba membeli pizza dengan mata uang virtual itu.
Dasarnya adalah sebuah eksperimen–yang sebetulnya sudah dilakukan sejak cryptocurrency muncul–untuk menjadikannya sebagai uang virtual yang tidak bergantung pada pihak manapun, kecuali tentu saja sentimen pasar.
“Lalu dia memaksa toko pizza itu untuk menerima bagaimana kalau 10 ribu Bitcoin dianggap saja senilai 20 dolar AS. Toko pizza itu bilang, ‘Ya kenapa tidak?’ Itulah awal mula pembentukan demand,” kata Oscar.
Tahun 2010 itu, sebuah Bitcoin sudah mulai dihargai sekiar 3 sampai 9 dolar AS. Kemudian pada Juni 2011, sebuah Bitcoin dihargai lebih dari 29 dolar AS. Tren permintaan Bitcoin terus meningkat cepat.
“Orang-orang yang punya token tidak jelas ini kemudian menganggap, ‘wah, ternyata bisa ya untuk beli pizza’. Efeknya meluas. Kemudian pada 2011-2012 terjadi krisis moneter di Islandia. Yang terjadi adalah krisis besar di mana orang tidak bisa mengambil uang di bank.”
“Maka orang berusaha mencari suatu bentuk kekayaan yang tidak bergantung pada perbankan, seperti emas, berlian, dan Bitcoin. Semua itu punya nature yang sama: komoditas. Bitcoin menjadi komoditas yang mereka anggap tidak tergantung pada sistem keuangan apapun,” jelas Oscar.
Selain WikiLeaks, muncul pula perusahaan-perusahaan besar yang membuka diri pada sistem transaksi Bitcoin ini, yakni Microsoft, WordPress, Overstock, dan Dell.
Alasan yang mendasari penerimaan penggunaan Bitcoin atau cryptocurrency secara umum terus meningkat ialah karena mata uang virtual itu dianggap sebagai aset paling aman, dan praktis digunakan dalam bertransaksi secara online.

Bitcoin

Sebuah toko di AS terima metode bayar Bitcoin. (Foto: REUTERS/Lucy Nicholson)

Nilai satu token Bitcoin sampai hari ini mencapai 2.337 dolar AS atau sekitar Rp 31 juta. Harga yang fantastis.
Namun nilai tukar Bitcoin senantiasa fluktuatif setiap waktu dipengaruhi oleh sentimen pasar. Oleh sebab iitulah pengguna Bitcoin disebut-sebut bisa kaya mendadak tetapi juga bisa miskin mendadak. Penuh risiko.
Jumlah Bitcoin yang terbatas juga memengaruhi nilainya. Bitcoin hanya akan dikeluarkan sebanyak 21 juta token. Sementara untuk sekarang sudah sekitar 16 juta token Bitcoin yang ada dalam sirkulasi.
Saat ini, setiap 10 menit akan ada 50 token Bitcoin baru yang keluar, dan jumlahnya akan berkurang setengahnya setiap empat tahun sekali.
Untuk mendapatkan token Bitcoin bisa melalui dua cara, yakni membelinya dengan mata uang riil, atau dengan cara menambang atau mining. Biasanya, mereka yang memperoleh Bitcoin dengan cara mining adalah orang-orang yang memang berniat untuk berinvestasi dan mencari keuntungan dari Bitcoin.
Mengapa demikian? Karena aktivitas mining memerlukan modal cukup besar. Mulai dari keperluan perlengkapan hardware komputer yang mahal, sampai biaya listrik yang luar biasa besar karena proses mining harus dilakukan dengan mengoperasikan komputer dan semua perangkat keras tersebut selama 24 jam dalam 7 hari. Sepekan penuh.
Harga perangkat keras untuk mining saja yang sederhana mencapai 1.000 dolar AS atau sekitar Rp 14 juta.
“Menambang (mining) ini cuma sebuah kiasan di mana anda mengorbankan komputer anda untuk menjadi server,” tukas Oscar.
Selain Bitcoin, ada juga cryptocurrency lain yang diciptakan setelahnya. Menurut Oscar, bahkan jenisnya sekitar 800 lebih. Namun yang terkenal karena nilainya yang tinggi hanya beberapa, misalnya Bitcoin, Ethereum, Ripple, Litecoin, Monero, ZCash dan NEM.
Etherum disinyalir akan menjadi cryptocurrency yang lebih populer dari Bitcoin karena tren penggunaannya yang meningkat signifikan.
Nilai sebuah Ethereum saat ini menyentuh angka sekitar 210 dolar AS atau setara dengan Rp 2,8 juta–masih di bawah peringkat Bitcoin. Namun nilai per 1 Ethereum pada 2016 lalu hanya di Rp 80.000-90.000. Dengan demikian, nilainya melonjak drastis.
Ethereum sendiri dibuat oleh Vitalik Buterin dan baru dirilis dua tahun lalu, 30 Juli 2015. Tak sedikit orang yang meramalkan cryptocurrency atau uang virtual ini akan jadi alat tukar dalam kehidupan manusia di masa depan menggantikan uang riil.

Ethereum

Ethereum (Foto: Thinkstock)

Ramalan itu berdasarkan perhitungan: keperluan menerapkan sistem finansial yang lebih mapan, terdesentralisasi dan praktis, serta perkembangan teknologi digital yang tak dapat dibendung.
Tapi apa iya mata uang virtual berpotensi menggeser mata uang riil?
Tidak juga. Oscar mengatakan, “Bitcoin atau blockchain tidak akan menggantikan sistem yang ada sekarang. Karena beberapa hal tetap lebih baik dengan sistem tersentralisasi. Namun, kalau sistem yang memerlukan dua perusahaan bekerja sama secara langsung, saya kira lebih baik decentralized karena lebih efisien. Tapi untuk sistem seperti perbankan lebih baik centralized karena memerlukan kontrol.”
Jadi jawabannya: tergantung kebutuhan manusia sendiri.

Infografis Sejarah Uang

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Watch Dragon ball super